Kekuatan persepsi kognitif setiap orang adalah tidak sama, dan tingkatan-tingkatan perbedaan ini tidak terbatas, sebanyak jumlah manusia itu sendiri. Begitu pula, persepsi moral dan religius juga sangat berbeda dari sebuah persepsi yang semata-mata persepsi intelektual, karena suatu kualitas intrinsik dari persepsi moral dan religious ini adalah bahwa bersama dengan persepsi, ia juga membawa suatu sense of gravity (rasa daya tarik) yang istimewa dan menjadikan subyeknya tertransformasikan secara signifikan. Karena itu persepsi, juga persepsi moral, memiliki tingkatan-tingkatan.
Variasinya tidak hanya antara individu yang berbeda, tetapi kehidupan batin dari seorang individu juga bervariasi dari waktu ke waktu dari sudut pandangan ini. Di sini kita tidak berbicara tentang suatu evolusi dan perkembangan moral dan intelektual yang intrinsik, di mana variasi paling jelas kelihatan, tetapi bahkan dalam diri seorang yang baik dan telah matang dan dewasa, yang kaliber dan karakter moral dan intelektual rata-ratanya, dalam sesuatu arti, telah tetap, variasi-variasi ini juga terjadi.
Senada dengan hal tersebut, Mochtar Lubis dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia memberikan argumen dan didukung oleh fakta mengenai karakter masyarakat Indonesia yang terkesan tidak rasional dan tidak religi. Berikut beberapa karakter masyarakat Indonesia menurut Mochtar Lubis:
- Hipokritis alias Munafik. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya. Sistem feudal kita di masa lampau yang begitu menekan rakyat dan menindas segala inisiatif rakyat, adalah salah satu sebuah sumber dari hipokrisi ini. Walaupun Agama datang untuk menyelesaikan permasalahan ini, namun karena mendapat efek paksaan dan kekerasan karena kolonialisme terhadulu, maka agama tidak mampu menyelesaikannya sepenuhnya.
- Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya dan sebagainya. Karakter seperti ini menunjukkan bahwa manusia Indonesia tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap perilakunya sendiri. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya sebuah kepemimpinan di negara ini menjadi bobrok dan tidak berani untuk tampil ke depan dalam memikul tanggung jawab.
- Sifat Feodal yang tinggi. Sikap-sikap feodalisme dalam bentuk baru dapat kita lihat dalam tatacara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan-hubungan organisasi kepegawaian, dalam pencalonan isteri pembesar negeri dalam daftar pemilihan umum. Pemimpin dilihat bukan dari kecakapan atau bakat leadership-nya, melainkan dari garis keturunan keluarga.
- Masih percaya dengan Takhyul atau mistis. Karakter seperti ini membuat manusia Indonesia terlihat modern dari luar namun dari dalam percaya akan hal-hal yang tidak rasional. Kepercayaan ini mengakibatkan kita merasa yakin telah berbuat yang tegas untuk menjamin keselamtan dan kebahagiaan atau kesehatan kita. Teknologi, modernisasi, planning, industrialisasi, produksi, ilmu modern, multi-national corporations, adalah mantera dan lambang baru bangsa Indonesia. Namun, kita hanya bicara saja mengenai itu bukan melaksanakannya atau melakukan sebuah penelitian yang bersifat ilmiah dalam hal itu.
- Artistik. Karena sikapnya yang percaya takhyul atau mistis mengakibatkan manusia Indonesia dekat dengan alam. Karakter ini menyebabkan hidup dengan menggunakan naluri, dengan perasaan sensuilnya.
- Memiliki Watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahakan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya.
- Tidak hemat, bukan “economic animal”. Malahan dia pandai mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang belum diterimanya, atau yang akan diterimanya, atau yang tidak pernah akan diterimanya. Cenderung boros, senang berpakaian bagus, mamakai perhiasan, dan berpesta-pesta. Singkatnya semua serba mahal. Hal ini mengakibatkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme untuk mengejar kebutuhan duniawi yang bersifat individual.
- Kurang sabar dan tukang menggerutu. Hal ini tampak pada generasi muda bangsa Indonesia yang umumnya ingin seketika menjadi kaya, berpangkat, ingin menjadi terkenal dengan cara yang cepat dan mengambil jalan pintas.
- Cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain. Tidak senang melihat orang senang, orang lebih maju, lebih kaya, lebih berpangkat, lebih berkuasa, lebih pintar dan lebih terkenal dari dirinya.
- Tukang tiru. Kepribadian kita sudah menjadi lemah sehingga cenderung mengikuti trend masa kini. Istilah anak zaman sekarang adalah mengikuti “trend”. Kita sangan terpengaruh oleh apa yang datang dari luar. Bikinan luar negeri selalu lebih menarik dari hasil dalam negeri.
No comments:
Post a Comment